Matrix Text

ScrollFx

Kamis, 14 Mei 2009

Ada Apa dengan SMA di Yogyakarta?

Masyarakat terbelalak setelah hasil Ujian Nasional SMA 2006 diumumkan pertengahan April lalu. Tidak satu pun SMA di Yogyakarta, baik SMA negeri unggulan, seperti SMA 1, SMA 3, dan SMA 8, maupun sekolah swasta favorit, seperti SMA De Britto dan Stella Duce 1 Yogyakarta, masuk dalam peringkat 10 besar secara nasional. Justru yang menempati 10 besar adalah sekolah-sekolah nonunggulan dari kabupaten. Hal ini memunculkan pertanyaan, ada apa dengan SMA negeri unggulan dan swasta favorit di Yogyakarta ini?

Adakah sesuatu yang kurang atau salah sehingga dapat kalah bersaing dengan sekolah-sekolah nonunggulan di kota kabupaten? Rasa malu dan beban moral yang berat sudah barang tentu dipikul oleh komunitas SMA negeri unggulan Yogyakarta dibanding sekolah swasta favorit. Karena SMA negeri unggulan yang menjadi barometer kualitas pendidikan Yogyakarta mempunyai input siswa yang sangat istimewa (kelas I). Mereka diterima berdasarkan Nilai Ujian Nasional Murni (NUNM), siswa yang diterima mempunyai NUNM di atas 28,40 untuk tiga mata pelajaran di SMP (rata-rata 9,47) atau siswa-siswa yang sangat cerdas.

Di sisi lain, fasilitas pembelajaran mulai dari ruang kelas, laboratorium, media pembelajaran, peralatan audiovisual, dan teknologi informasi sudah sangat layak, bahkan istimewa. Selain itu, bukan rahasia umum lagi di SMA negeri unggulan ini diampu oleh guru-guru terbaik di Yogyakarta. Guru-guru ini, selain mendapat gaji dari pemerintah, juga mendapat tambahan insentif dari yayasan alumni yang dibentuk oleh masing-masing sekolah.

Dengan kondisi siswa dan fasilitas serta guru yang sangat bagus, mengapa tidak dapat masuk 10 besar nasional? Apa yang kurang atau salah? Apakah kualitas proses kegiatan belajar mengajar (KBM) atau orientasi siswa dalam belajar?

Kualitas proses KBM

Nilai ujian nasional (nilai kognitif) memang hanya salah satu indikator keberhasilan kegiatan belajar mengajar, masih ada aspek lain yang tidak dinilai melalui ujian nasional dan hasilnya tidak dipublikasikan secara nasional, yaitu nilai psikomotor dan afektif.

Namun, gambaran kualitas proses KBM dapat dilihat dari hasil evaluasi yang berupa ujian nasional. Jika proses belajar mengajar berlangsung benar dan baik sesuai tuntutan kurikulum, serta selalu menyesuaikan dengan tuntutan pasar, maka sudah barang tentu hasilnya juga baik.

Bagaimanakah proses KBM yang berlangsung di SMA negeri unggulan Yogyakarta, apakah sudah benar dan baik? Tidak mudah untuk membuat justifikasinya, tetapi berikut adalah indikasi-indikasi yang mencuat di lapangan.

Pertama, siswa-siswa SMA unggulan lebih dari 90 persen setiap sore mengikuti bimbingan tes, bahkan ada yang mengikuti bimbingan lebih dari satu tempat. Alasan yang meluncur dari mulut siswa-siswa ini adalah sekolah kurang banyak memberikan variasi pembelajaran berkaitan dengan rumus-rumus kilat dan praktis, serta miskin variasi soal-soal yang menantang. Selain itu, tidak berjalannya remidiasi dengan benar dan baik, serta penuh ketekunan dan kesabaran oleh guru menjadikan siswa banyak melarikan diri untuk memenuhi kebutuhannya ke bimbingan tes atau les privat.

Kedua, pengakuan dari beberapa guru sekolah unggulan yang secara legawa mengakui bahwa siswa-siswanya menjadi pintar dan berhasil lebih besar karena kemauan dan usaha pribadi-pribadi, bukan karena didesain secara kolektif dalam proses KBM yang unggul di sekolah. Di sini berbeda dengan SMA Negeri I Bangil Pasuruhan, Jawa Timur (peringkat I nasional), di mana sekolah sejak awal sudah mendesain sistem secara kolektif KBM yang unggul dengan konsep kesederhanaan kreatif untuk berhasil secara bersama-sama. Keberhasilan secara kolektif faktanya dapat mengangkat nama sekolah dan pemerintah daerah.

Yogyakarta bukan Bangil, Pasuruan, orientasi siswa SMA negeri unggulan dan orangtua di Yogyakarta lebih pada Ujian Masuk Universitas Gajah Mada (UM UGM) yang setiap tahun dilaksanakan pada bulan April daripada UN.

Kondisi ini yang tidak dialami oleh siswa SMA Negeri Bangil Pasuruan. Eforia persiapan UM UGM yang dilakukan oleh masing-masing sekolah dan ditambah dengan bimbingan tes memecah konsentrasi siswa dalam mempersiapkan UN, di mana jarak waktu antara UM UGM dengan UN relatif pendek. Sementara, dua hajatan besar menyebabkan siswa stres karena keduanya sangat penting bagi masa depan siswa.

Lolos dalam UM UGM suatu prestasi yang membanggakan bagi siswa dan orangtua, sedangkan UN menentukan kelulusan siswa. Lulus UN merupakan syarat mutlak untuk dapat melanjutkan ke UGM. Pada kondisi dilematis seperti ini, sikap yang banyak diambil siswa adalah yang paling aman, yaitu mengoptimalkan persiapan UM UGM untuk memperebutkan kursi di UGM yang persaingannya lebih ketat, kemudian baru mempersiapkan UN ala kadarnya hanya dengan target lulus, bukan untuk memaksimalkan pencapaian nilai pada UN. Hal ini barang tentu merugikan sekolah negeri unggulan terkait dengan rangking prestasi UN secara nasional.

Berdasarkan indikasi-indikasi yang diketemukan di lapangan tersebut, tampak kualitas proses pendidikan di SMA negeri unggulan masih terbelenggu kurikulum formal belum tampak sinkron dengan fokus kebutuhan siswa dalam suatu desain KBM yang unggul.

Lalu, sebenarnya apa yang diunggulkan oleh SMA unggulan Yogyakarta? Masyarakat pendidikan Yogyakarta menunggu bukti nyata ada perubahan-perubahan yang terbukti unggul dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dan memberikan nilai tambah bagi Yogyakarta Kota Pendidikan.

Untuk perubahan-perubahan tersebut Dinas P dan P, Dewan Pendidikan, dan SMA negeri unggulan perlu duduk berdiskusi untuk mendesain sistem pendidikan yang unggul, integratif, dan dapat diandalkan khas Yogyakarta.


http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0705/26/jateng/53826.htm

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates